Minggu, 11 April 2010

HARAMKAN MUSHAFAHAH (BERJABAT TANGAN )DENGAN NON MAHROM

Di sini penulis memposting beberapa argument secara cukup detail dan panjang lebar tentang dibolehkannya laki-laki berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan permintaan dari salah seorang kawan yang sangat memerlukan. Dan penulis dalam hal ini hanya merujuk kepada Qur’an dan Hadits serta mengutip fatwa-fatwa para tokoh agama yang cukup dipercaya oleh mayoritas umat islam. Semoga ada manfaatnya dan dapat diyakini kebenarannya! Tak lupa memohon do’a dari para pembaca agar penulis mendapat imbalan yang mulia dari Yang Maha Kuasa!
Dalam majalah al-Islam Wathan yang diterbitkan oleh Tarekat Azmiyah Mesir, edisi bulan Mei 2007, Ustazah Rajiyah Abdul-Mun’im al-Aryan menegaskan bahwasanya berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan non-mahram bila tidak disertai dengan syahwat maka hukumnya boleh-boleh saja bahkan termasuk bagian dari tata krama dan etika sopan santun dalam pergaulan antar masyarakat. Namun apabila disertai syahwat maka tidak diragukan lagi keharamannya.
Dr. Yusuf al-Qaradlawi juga berpendapat bahwa laki-laki berjabat tangan dengan wanita diharamkan apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat.
Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama’ bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya –yang pada asalnya mubah itu- bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah, khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
Diperbolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Saidina Abu Bakar Ra. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Saidina Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.
Hal ini sudah ditunjukkan al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain: "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa meninggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (al-Nur: 60).
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya. "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita" (al-Nur: 31).
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahqiq.
Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat: "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya" (al-Nur: 31). Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha’ dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "Kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat? Tidak ada dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian. Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya.
Tetapi dalam kondisi aman -dan ini sering terjadi- maka dimanakah letak keharamannya? Sebagian ulama’ ada yang berdalil dengan sikap Nabi Saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah. Tetapi ada satu ketetapan bahwa apabila Nabi Saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan -secara pasti- akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah. Kalau begitu, sikap Nabi Saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah Ra. bahwa Nabi Saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Siti Aisyah Ra. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah: "Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (al-Mumtahanah: 12).
Siti Aisyah berkata: “Maka barang siapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah Saw. berkata kepadanya: "Aku telah membai'atmu -dengan perkataan saja-" dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan: “Aku telah membai'atmu tentang hal itu"".
Dalam mensyarah perkataan Siti Aisyah Ra. "Tidak, demi Allah..." Imam Ibnu Hajar berkata sebagai berikut: “Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Siti Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, al-Thabari dan Ibnu Mardawaih, Ummu Athiyah berkata: "Lalu Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap: “Ya Allah, saksikanlah"".
Demikian pula hadits sesudahnya -yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari- dimana Siti Aisyah mengatakan: "Seorang wanita menahan tangannya" memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka.
Imam Ibnu Hajar berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan. Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan, atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.
Abu Daud meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata: "Aku tidak berjabat dengan wanita".
Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi Saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.
Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali, di antaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh al-Sya'bi".
Di antaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan ke dalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.
Di antara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Siti Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah -secara lahiriah- membicarakan yang lebih umum dari pada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk di dalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Siti Aisyah di bawah bab "Idzaa ja’akal-mu'minat Muhajirat" sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa ja’akal-mu'minat yubayi'naka".
Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan –yaitu bahwa Nabi Saw. tidak berjabat tangan dengan wanita– belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah dikemukakan.
Sebagian ulama’ sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi, Nabi Saw. bersabda: "Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik dari pada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya". Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits ini sebagai dalil :
1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan: "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih". Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha’ terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
2. Fuqaha’ Hanafiyah dan sebagian fuqaha’ Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti al-Qur'an serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti al-Qur'an dan al-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu :
a) Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Saiduna Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah "Kamu menyentuh wanita”, Saiduna Ibnu Abbas Ra. berkata: "Lafal al-lams, al-mulamasah, dan al-mass dalam al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual).
b) Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama’ salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.
Imam al-Hakim mengatakan bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima', di antaranya hadits Saidina Abu Hurairah Ra.: "Tangan, zinanya ialah menyentuh".
Berdasarkan di atas, maka mazhab Maliki dan mazhab Hanbali berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudu’ itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah "Au lamastum annisa'". Karena itu, Ibnu Taimiah melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal mulamasah atau al-lams dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Di antara yang ia katakan mengenai masalah ini seperti berikut: “Adapun menggantungkan batalnya wudu’ dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat) maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu. Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah “Au lamastum annisa’” itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya –seperti yang dikatakan Saiduna Ibnu Umar dan lainnya- maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf "Dan janganlah kamu memubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid" (al-Baqarah: 187). Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat. Demikian pula firman Allah "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka" (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka" (al-Baqarah: 236). Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama’. Barang siapa menganggap bahwa lafal “Au lamastum annisa’” mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya “menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki".
Di tempat lain lbnu Taimiah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah “Au lamastum annisa'”. Saiduna Ibnu Abbas Ra. dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima', dan mereka berkata: "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia”. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki". Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan: “Yang dimaksud adalah jima'”. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: “Yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Saidina Ibnu Abbas, lantas beliau membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.
Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.
Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah Saw. niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi Saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Saw. itu suri teladan yang baik bagimu" (al-Ahzab: 21).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Saidina Anas bin Malik Ra. beliau berkata: "Sesungguhnya seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah Saw. lalu membawanya pergi ke mana ia suka". Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah Saw. maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka". Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.
Imam Ibnu Hajar mengatakan: "Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadlu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-ima' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang manapun, dan dengan perkataan haitsu sya'at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil / memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadlu'nya Rasulullah Saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong".
Apa yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.
Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dari Saidina Anas bahwa Nabi Saw. tidur siang hari di rumah bibi Saidina Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu". Imam Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan: "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya dan sebagainya. Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil-Barr berkata: "Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah Saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan sebagai ibu susuan atau bibi susuan bagi Rasulullah Saw. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram".
Selanjutnya Ibnu Abdil-Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Saidina Abdul-Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar.
Yang lain lagi berkata: "Nabi Saw. itu ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau".
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadli Iyadl dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.
Al-Dimyathi mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi Saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata: "Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi Sw. baik bibi susuan maupun bibi nasab”. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil-Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin al-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi Saw. terhadap Saidina Sa'ad bin Abi Waqash: "Ini pamanku" karena Saidina Sa'ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Siti Aminah, sedangkan Saidina Sa'ad bukan saudara Siti Aminah, baik nasab maupun susuan".
Selanjutnya al-Dimyathi berkata: "Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab: “Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya”. Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah".
Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup di dalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar.
Dan ditambahkan pula kepada illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Saidina Anas, pelayan Nabi Saw. sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara orang-orang luar.
Kemudian al-Dimyathi berkata: "Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi Saw. dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping".
Imam Ibnu Hajar berkata: "Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan".
Imam Ibnu Hajar berkata: "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas".
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi Saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu ditekankan: Pertama: Bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi –yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah- meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi Saw. -tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah -yang komitmen pada agamanya- ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Sedangkan Farid Ma’ruf menyatkana bahwasanya Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara’ yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama’ yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
1. Telah berkata Siti Aisyah Ra.: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw. menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya” Dalam riwayat lain: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan”. Menurut mereka, hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw. tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
2. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan menyentuh wanita serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi: “Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya”. Atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram”.
3. Juga didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. yakni: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita”.
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw. bersentuhan (memegang) tangan wanita :
1. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah Ra. yang berkata: “Kami telah membai’at Rasulullah Saw. lalu Beliau membacakan kepadaku “Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu” dan melarang kami melakukan nihayah (histeris menangisi mayat) karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: “Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya” dan ternyata Rasulullah Saw. tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi”. Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qabadla dalam hadits ini memiliki arti menggenggam / melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya “menarik kembali tangannya” menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya / dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw. telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at. Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah penerimaan yang terlambat” seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. Sebab kata “genggam tangan” dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain “berjabat tangan”. dan tidak bisa dipahami / diterima dari segi bahasa kalau diartikan “penerimaan yang terlambat”. Kata qabadla juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Saidina Abu Bakar Ra. dari Ibnu Juraij yang menceritakan bahwa Siti Aisyah Ra. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw. masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau “Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung””. Beliau kemudian bersabda: “Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini —digenggamnya pergelangan tangannya sendiri— dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya”. Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah Ra. ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama’ yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
2. Diriwayatkan dari Siri Aisyah Ra. yang berkata: “Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata: “Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita”. Dari belakang tabir wanita itu menjawab: “Ini tangan seorang wanita”. Nabi bersabda: “Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)”.
3. Dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah Swt.: “Atau kamu telah menyentuh wanita”. Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudu’ kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudu’, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita —tanpa diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah. Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.
4. Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut: Imam ar-Razi menuturkan sebuah riwayat bahwa Saidina Umar Ra. telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw. Imam al-Qurthubi juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. mengambil bai’at dari kalangan wanita. Di antara tangan Rasulullah Saw. dan tangan wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw. mengambil sumpah wanita-wanita tersebut. Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah Saw. selesai membai’at kaum laki-laki, Rasulullah Saw. duduk di shofa bersama dengan Saidina Umar bin al-Khaththab yang tempatnya lebih rendah, lalu, Rasulullah Saw. membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Saidina Umar bin al-Khaththab Ra. berjabat tangan dengan wanita-wanita itu. Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw. terhadap perbuatan Saidina Umar bin al-Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw. merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw. tidak akan mewakilkan kepada SaidinaUmar bin al-Khaththab, dan beliau Saw. pasti akan melarangnya.
Dalam menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadits-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang zahirnya seolah-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1. Thariqatul-jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh :
2. Nasikh dan Mansukh. Apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh :
3. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama’. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau masih kabur, baru menempuh langkah terakhir :
4. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah Swt. membukakan persoalan tersebut untuk diketahui.
Setelah membandingkan antara dua pendapat di atas, maka ditemukan bahwasanya pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah Ra. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu Athiyah Ra. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama’ bahwa: “Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung”. Dari hadits-hadits di atas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah Ra. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw. yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan Ummu Athiyah Ra. sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw. seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah Ra. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (Siti Aisyah Ra.) bergaul dengan Rasulullah Saw. beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw. berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung Siti Aisyah Ra. menceritakan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
2. Memang benar Siti Aisyah Ra. tidak pernah melihat Rasulullah Saw. berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw. mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan Siti Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul —dalam hal ini berjabat tangan— yang diketahui Siti Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi Siti Aisyah Ra. bahkan kehidupan Rasulullah Saw. bersama Siti Aisyah Ra. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw. di luar rumah (berdakwah tanpa disertai Siti Aisyah Ra.). Sehingga kalau Siti Aisyah Ra. tidak pernah melihat Rasulullah Saw. berjabat tangan dengan wanita bukan mahram tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Siti Ummu Athiyah Ra.) Rasulullah Saw. berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh karena itu hadits riwayat Siti Ummu Athiyah Ra. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan menyentuh wanita serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi: “Ditikam seseorang dari kalian di kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya” atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram”, menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan menjelaskan bahwa kata massa yang artinya “menyentuh” dalam hadits tersebut adalah lafaz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti “menyentuh dengan tangan” atau “bersetubuh”. Selain itu pengertian “menyentuh” juga sering digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti “menyentuh dengan tangan” atau “bersetubuh”. Ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah dalam menjelaskan “menyentuh dengan tangan” sering menggunakan kata lamasa. Arti kata lamasa menurut bahasa Arab sendiri adalah al-Jassu bil-yadi (menyentuh dengan tangan). Di dalam hadits-hadits pun terdapat kata lamasa yang artinya menyentuh dengan tangan.
4. Kata massa merupakan lafaz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti “menyentuh dengan tangan”, tetapi, hadits-hadits yang digunakan sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan menyentuh wanita menggunakan kata massa yang lebih tepat diartikan “bersetubuh”. Kata-kata massa dengan arti “bersetubuh” lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an.
5. Walaupun kata massa dapat diartikan dengan “menyentuh dengan tangan” tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan “bersetubuh”. Sebab jika diartikan dengan “menyentuh dengan tangan” maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu Athiyah Ra. dimana tangan Rasulullah Saw. yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw. pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari Siti Aisyah Ra. yang berkata: “Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata: “Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita”. Dari belakang tabir, wanita itu menjawab: ”Ini tangan seorang wanita”. Nabi bersabda: “Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau rubah warna kukumu (dengan pacar)”. Selain itu Rasulullah Saw. pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw. berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menyuruh Saidina Umar bin al-Khaththab Ra. untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw. tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw. memerintahkan Saidina Umar bin al-Khaththab Ra. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antara lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya negara khilafah tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan, bahkan daulah akan memberikan sanksi / hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah Khilafah Islamiyah pernah melakukannya. Dan bahkan daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram. Jadi dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan kata “menyentuh” pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah “bersetubuh” bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).
6. Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram adalah lemah, karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan: “Sebenarnya perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw. bukanlah dalil syara’”. Sedangkan yang bisa dijadikan dalil syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Oleh karena itu, perkataan Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi hadits itu harus dipahami bahwa Rasulullah Saw. ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah Saw. selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah Saw. juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah Saw. tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau Saw. tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Demikian juga dengan kasus mushafahah. Meskipun Rasulullah Saw. tidak pernah melakukan mushafahah, bukan berarti mushafahah itu dilarang bagi kaum muslim. Sebagaimana menyimpan dirham dan dinar bukanlah perkara terlarang meskipun Rasulullah Saw. tidak pernah mengerjakannya. Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw. tidak mesti dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.
7. Adapun kritik keshahihan riwayat-riwayat Saidina Umar bin al-Khaththab bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahah-nya Saidina Umar bin al-Khaththab dicantumkan di dalam kitab Fathul-Bari karya Imam Ibnu Hajar, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa Imam Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Imam Ibnu Hajar sendiri adalah seorang muhaddits yang sangat masyhur dan kitabnya Fathul-Bari diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan para ulama’ fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahah-nya Saidina Umar bin al-Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti.
8. Kelompok yang mengharamkan berjabat tangan mengatakan bahwa riwayat Ummu Athiyah ini adalah mursal yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dan juga Imam Ibnu Hajar bahwa apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita. Memang sebagian ulama’ memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama’ menjadikan hadits mursal sebagai hujjah (absah digunakan sebagai hujjah). Hadits Ummu Athiyah adalah hadits marfu’ (bersambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal Ra. ia adalah orang yang sangat terpercaya. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah lebih dari sekedar terpercaya. Perawi berikutnya adalah Abdul-Warits, menurut al-Nasa’I, Abu Zur’ah al-Razi dan Abu Hatim al-Razi ia adalah terpercaya. Sedangkan Ayyub bin Tamimah, seorang tabi’in kecil, menurut al-Nasa’i dan Yahya bin Mu’în ia adalah (terpercaya). Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sirin, seorang tabi’in tengah, menurut Ibnu Hibban dan Yahya bin Mu’în ia adalah terpercaya dan menjadi hujjah. Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu Athiyah. Sedangkan Ummu Athiyah adalah seorang sahabat wanita.
Dari tarjih kedua pendapat di atas, menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.
Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama’ yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah Swt. telah membolehkannya lewat perbuatan Rasul-Nya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah Swt. atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Swt. Sebab Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram”.
Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindari dan dihindarkan.
Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah Swt. akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar