Minggu, 11 April 2010

ISLAMI

Membincang antara sebuah klaim dan kebenaran, sebenarnya klaim yang mengusung kebenaran atau kebenaranlah yang selanjutnya harus menelorkan beberapa klaim? Agaknya keduanya sama-sama meragukan. Tapi kenyataannya, Islam sebagai ajaran kebenaran kerap terlihat aneh. Ia seolah menjadi agama yang ditelorkan dan dibesarkan dalam sebuah klaim. Sebuah kandang yang setiap kelompok membuatnya, yang setiap golongan menjagokannya, yang siap diadu, berdarah-darah, ambruk, lalu banyak yang bertepuk.


Al-Qur’an sebagai pondasi Islam, adalah ruang kesempurnaan untuk perjalanan wahyu risalah ilahiah. Pada akhir abad keenam di jazirah Arab, antara Makkah dan Madinah, seluruh wahyu itu telah disemprongkan dalam bahasa kesusastraan tertinggi Arab. Karena Rasulullah saw. berdarah biru Quraisy, orang Arab asli, Muhammad bin Abdillah. Terlebih, beliau juga harus menyampaikannya kepada masyarakat Arab, kaum gurun yang memiliki peradaban dan adat istiadat, yang kesehariannya lekat dengan jubah, yang diberi anugrah janggut agar dirawat, dan kaum yang masih jahiliah.

Islam, agama pungkasan sekaligus pamungkas. Pada awal kedatangannya, pilar-pilar peradaban Arab jahiliah yang telah mapan benar-benar terguncang. Sontak, penduduk Arab tercengang, takjub sekaligus resah! Sebab, tiap serat ayatnya adalah mukjizat yang demikian dahsyat. Kesatuan pemahaman tentang konsep Tuhan politheisme yang telah kokoh tidak lama harus roboh. Sekian budaya usang, hukum adat istiadat warisan nenek moyang yang telah lama terserap pun segera menguap.
Ya, Islam yang asing, Islam yang amazing! Pada pucuknya, di negeri awal mula turunnya wahyu itu, Islam berhasil mengangkat bangsa Arab, dari lembah peradaban Arab jahiliah menjadi peradaban tinggi Arab yang Islami.
Celakanya, kekeringan pemahaman terhadap nash yang shahih, kerdilnya pengertian atas identitas Islam, kembali menyebabkan universalisme Islam terpasung, justru ketika nilai-nilainya harus merambat ke beberapa wilayah di luar Arab.
Di Maroko, prasangka khalayak sempat meledak "Orang muslim harus Arabi!, yang Arabi itulah muslim!”, “Jubah yang nyunnah Rasul jubah ala Maroko!" Sampai juga di Asia, ada beberapa muslim yang merasa wah, ketika bisa menunjukan keislamannya dengan ikatan sorban dan jubah, atau menggantungkan di janggutnya yang dipaksakan memanjang, di balik cadar, di semerbak minyak kasturi, di setiap ucapan yang sering terpenuhi huruf hija’iah, pada semua simbol-simbol kultural keberagamaan warga Arab yang diimport, untuk secara tragis memasung nilai-nilai universalisme, kontekstualisme, dan kesakralan Islam. Karena begitulah saat Arabisme menjangkit, yang mengimajinasikan budaya Islam adalah budaya kearab-araban. Hasilnya, Islam terjual murah, Islam dibajak mudah, Islam jatuh sakit.
Padahal Mesir, Saidina Amru bin Ash ra. dalam ekspansinya memang praktis telah sempurna menyepuhkan warna arabisme di bumi kinanah itu. Namun apakah semua penduduk Mesir yang telah menjiwai, bernafaskan Arabi memeluk Islam? Tidak, di sana masih bercokol Arabi nasrani, Arabi yahudi, bahkan Arabi atheis yang tanpa nabi sekalipun!
Menjadi umat Saidina Muhamad bukan berarti harus menjadi kaum Saidina Muhammad, makna kaum berbeda dengan umat. Dr. Ahmad Khalafallah, pemikir Mesir tahun 50-an ini dalam karyanya Urubat al-Islam menguraikan, kaum Muhammad merekalah orang-orang Arab, entah muslim ataupun kafir, sedang umat Muhammad adalah umat muslimin, baik orang Arab maupun bukan. Umat adalah kaum yang taat, layaknya kaumnya nabi Musa, “Wamin qaumi Mûsa ummatun yahduna bil-haqqi wabihi ya’dilun”. Umat Saidina Muhammad, merekalah jama’ah yang kelak akan bersegera mendatangi seruan Rasulullah, "Ummati..ummati..".
Pasalnya, adakah desain pakaian yang Allah khususkan buat umat Islam? Jawabnya: ya, ada!. Itupun hanya pakaian ihram saat menjalankan ibadah haji. Sebuah desain sederhana yang humanis, anti rasis. Bukan kemeja taqwa, sarung, atau jeans. Ketika tawaf, tidak ada (tidak disyari’atkan) kopiah hitam, tidak ada topi koboi, apalagi cadar perempuan gurun.
Mendaftar jadi umat Saidina Muhammad berarti memeluk Islam, baik dengan aksesoris Arab, bercadar, bersarung, berkemeja, berkerudung, berjas, ataupun berdasi. Entah berunta, bersepeda, ataupun bermerci. Sebab semua itu adalah bagian dari ragam produk peradaban manusia sesuai kreatifitas dan tingkat kemajuan pola pikir tiap masing-masing bangsa. Semuanya Islami, jika pantas dipakai umat Islam, tidak menerabas lintasan syar’i.
Arabisme memang sebuah cengkraman. Namun selepasnya, nilai Islam masih bisa saja terkurung dalam kubangan yang lebih besar, di belahan bumi timur. Saat kaum muslim serentak memilih sebuah sikap; ganyang dan kutuk barat! pada kekafirannya, pada peradabannya, pada semuanya. Padahal diakui, keberislaman orang timur banyak berhutang pada penemuan-penemuan barat. Tidak perduli, barat dikutuk seumur bumi dan langit, padahal hembusan ampunan, hidayah Tuhan di bawah hitungan detik dan menit. Klaim berlanjut, “Peradaban barat tidak Islami!”. Kemudian ramai-ramai umat islam menjenguk barat sebagai kutukan, bom dan teror.
Tidak! Bagi seorang ulama’ Islam sejati yang tangguh. Saat keimanannya adalah detak jantungnya. Produk budaya barat tidak pernah ia takutkan. Sebaliknya, keislamannya tertantang untuk hadir sebagai rahmatan lil-alamin, mampu berdialog, dengan hikmah, berusaha menjinakkan peradaban barat yang dipandang masih liar. Lalu menyerap peradaban yang layak dikonsumsi, sebagai nutrisi bangsa timur-Islam, untuk sebuah kebangkitan, mewujudkan bangsa timur-Islam yang lebih maju. Bukan malah keburu congkak, atau gemar melakonkan sosok Ken Arok.
Sebut saja tokoh-tokoh sekaliber al-Afghani (Persia), Muhammad Abduh (Mesir), al-Kawakibi (Syiria), Iqbal (India). Bagi tokoh pembaharu seperti mereka, anugrah kenikmatan spiritualitas Islam yang terkucur di bumi timur, lewat hembusan ayat-ayat al-Qur’an, bukanlah obor untuk memberangus tapal batas kebajikan. Kebaikan yang universal, yang tidak hanya tumbuh di punggung timur, tidak pula hanya di dada barat, ialah kebaikan milik Tuhan, Penguasa barat dan timur, yang berhak menumbuhkannya di manapun. Sebagai ayat-ayat-Nya yang luasnya tanpa ampun. “Nun, wal-qalami wa ma yasthurun”.
Hanya menyembah peradaban masa lampau, bernostalgia dengan masa kejayaannya, atau sebaliknya, membeo, berkiblat ke arah peradaban barat, merupakan faktor dasar kejumudan umat Islam. Karena menyelami bahtera hakekat Islam berarti melipat klaim “Muslim adalah aku”, menggantinya dengan slogan “Aku adalah (juga) muslim”, lalu menyimak baik-baik firman Tuhan, "Bukanlah sebuah kebajikan, kamu berkiblat pada timur ataupun barat”. (Soda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar